February 7, 2017

MENANAM LABU SIAM DARI IBU


Dua minggu yang lalu aku menanam labu siam di pekarangan belakang dapur, penuh keringat, namun tetap semangat. Kemarin, hari sabtu aku seperti biasa mengunjungi ayah dan ibu. Dua insan manusia panutanku. Mereka tinggal di kampung dari masa muda hingga badan melengkung. Mereka tinggal di desa, dari masa muda hingga dewasa. Mereka tiap malam berselimut, dari kulit kencang hingga keriput. Mereka dua insan panutanku yang selalu ku sayang dan ku rindu.


Berbekal perut lapar, yang sengaja kukosongkan dari rumah. Bukan berarti tidak menghargai istri, namun sengaja ingin menyantap menu buatan ibu. Aku berangkat dengan penuh semangat. Menunggu dari Senin sampai Jum'at. Akhirnya bertemu sabtu dikejar minggu. 

Assalamu'alaikum! Aku membuka pintu dapur seperti biasa. Tidak dari pintu depan karena motor biasa diparkir di belakang. Tidak ada yang menjawab. Kuucapkan lagi salam sambil membuka pintu ruangan tengah. Kulihat ibu sedang asyik menonton sinetron india yang sedang menjamur di indonesia. Aku langsung mengulurkan tangan sambil ku kecup tangan keriput ibuku. Tangan yang digunakan menanak nasi untuk kami. Tangan yang digunakan untuk menggilas pakaian kotor sisa kami bermain. Tangan yang digunakan untuk menggendong Kami ketika bayi. Tangan yang digunakan dengan seribu manfaat penuh limpahan berkah bagi anak yang berkeluh kesah. 

Kutanyakan pada ibu, "Di mana ayah?" Ibu menjawab, "biasa sedang tidur di kamar". Aku langsung menghampiri ayah yang sedang berbaring, namun beliau tampaknya sedang tidur. Ku tatap wajah ayah yang sudah berusia tujuh dasawarsa setengah. Terkenang bayangan tiga puluh tahun silam. Ketika aku ditimang dengan kasih sayang.

Seperti biasa, ibu selalu menanyakan kabar menantu (istriku). "Gimana kabar Si Neng, Sehat?" ku jawab, "Alhamdulillah sehat". Terkadang aku malu pada ibu dan ayah. Perhatian mereka begitu besar pada Kami. Seperti lirik lagu "Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai Sang Surya menyinari dunia". 

Seperti biasa, setelah beres makan, aku duduk sebentar. Sambil menikmati hisapan asap yang membuat dada pengap. hehe. Kami ngobrol banyak, mulai dari menanyakan kabar berita saudara yang lain sampai mendengar cerita perjuangan ibu dan ayah dalam perjuangan  mengurus Kami dari anak-anak sampai dewasa.

Hari sudah menunjukan jam 04.00 sore. Aku mulai berpamitan untuk pulang. Ibu membawa bungkusan keresek hitam dari dapur. Beliau menyodorkannya padaku, seraya berucap, "Nih, tanam buah labu siam ini di pekarangan rumah! Ini buahnya masih sedikit muda, mudah-mudahan jadi". Aku mengambilnya sambil berterima kasih. 

Memang, bibit labu siam yang baik itu harus diambil dari buahnya yang sudah tua agar menghasilkan tanaman labu yang baik dalam masa pertumbuhannya. Aku langsung pulang, sambil mendo'akan ayah dan ibu, "Ibu dan Ayah sehat selalu Yaaa, maafin aku yang hanya bisa seminggu sekali berkunjung!", Aamiin

Singkat cerita, minggu pagi pun tiba. Ku ambil bibit labu siam, dan kutanam di pekarangan belakang. Selama kurang lebih dua minggu aku memupuk dan menyiraminya. Alhamdulillah sekarang labu siam yang ku tanam sudah mengeluarkan tunas dan daun dan mulai merambat.


No comments:

Post a Comment

ENTRI UNGGULAN

MiniTani Sebagai Solusi di Saat Pandemi

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Nah, itulah sekelumit lirik lagu "kolam sus...